Kamis, 05 Mei 2011

BAGAIMANA kondisi generasi muslim pertama? Bagaimana mereka satu per satu jatuh hati pada Rasulullah dan ajarannya yang suci? Bagaimana mereka tumbuh di Makkah lewat tantangan demi tantangan yang teramat berat?
Buku ini bertutur tentang fragmen kisah generasi muslim pertama, para sahabat Rasulullah, orang-orang yang memiliki posisi istimewa karena bertemu secara langsung dengan Rasulullah, menjadi saksi hidup sekaligus pembela perjuangan nabi akhir zaman itu dalam menegakkan ajaran mulia.
Menghanyutkan. Membaca kisah demi kisah dalam buku ini, saya seperti masuk ke dalam cerita dan terbawa oleh suasana yang terbangun di sana. Larut dalam ketegangan, kepedihan, dan rasa haru. Hal itu tak lain berkat ramuan penulisnya, Dr. Nizar Abazhah—seorang sastrawan besar Damaskus—yang andal dalam memilih penggalan kisah-kisah yang tersebar di berbagai karya klasik, lalu merangkainya dalam narasi yang runtut dan menarik, menjadi seolah itu adalah kisah yang utuh.
Entah telah berapa kali saya mendengar dan membaca kisah keberislaman Umar ibn Khathab—orang yang kemudian menjadi khalifah-Islam kedua. Kisah keberislaman yang masyhur. Namun, kali ini, membaca kisahnya dalam penuturan Nizar Abazhah, saya seperti hadir dalam suasana itu.
Umar adalah tokoh musyrik yang pemberani-cenderung kejam hingga ia menjadi sosok yang ditakuti. Ia tak segan-segan mengintimidasi siapa pun yang memeluk Islam. Kekejamanya hanya ditandingi oleh Amr ibn Hisyam atau yang lebih dikenal dengan Abu Jahal. Sampai-sampai Rasulullah berangan-angan: seandainya salah satu dari dua orang itu mau memeluk Islam, niscaya Islam di Makkah akan semakin kuat dan berwibawa. Angan-angan itu sering Rasulullah panjatkan dalam doa. Namun, melihat karakter Umar yang keras, tak sedikit penduduk Makkah yang pesimis dan menganggap mustahil jika Umar mau menjadi pengikut Muhammad. Umar tidak akan memeluk Islam kecuali jika keledai bapaknya pun mau melakukannya, pikir mereka.
Namun, yang terjadi ternyata tak seperti yang terpikirkan: Umar bertekuk lutut kepada Islam, bahkan bukan oleh kekuatan yang lebih kuat daripada dirinya, melainkan oleh air mata. Umar adalah pilihan dan jawaban Allah untuk doa Rasulullah.
Suatu hari, Umar mendengar saudarinya yang bernama Fathimah telah memeluk Islam. Umar benar-benar kalap. Ia segera menemui Fathimah sembari menghunus pedang. Saat Umar datang namun belum sempat memasuki rumah, Fathimah dan suaminya, Said ibn Zaid, sedang mendengarkan bacaan Al-Quran dari Khabab ibn al-Art. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran Al-Quran itu di balik pahanya, khawatir akan direbut Umar. Umar benar-benar murka. Ia bertanya dengan nada mengancam, “Apakah benar kalian telah memeluk Islam?!” Ia kemudian mencengkeram Said ibn Zaid dan berniat membantingnya. Fathimah berusaha mencegah, namun Umar justru memukulnya. Fathimah meringis menahan rasa sakit, dan menangis. Suasana rumah itu begitu tegang. Namun, justru membangkitkan keberanian Fathimah untuk mengatakan kebenaran.
“Benar! Kami telah memeluk Islam! Kami telah menjadi pengikut Muhammad!” kata Fathimah, tegas dan emosional. “Lakukan saja apa yang ingin kaulakukan!”
Jawaban tajam itu membuat jiwa Umar terhujam.
Umar melihat darah mengalir dari hidung Fathimah dan air bening yang berlinang dari matanya. Betapa keras seorang Umar, ia bisa luluh melihat kondisi saudarinya yang demikian itu. Umar menyesal. Wajah lembut dan bercahaya itu tak pantas menerima perlakuan kasar.
Ada lebih dari enam puluh sahabat Rasulullah yang dikisahkan dalam buku ini. Kisah-kisah itu bertaut pada benang merah: keberislaman, kepedihan, perjuangan, dan kepahlawanan.
Inilah kisah persahabatan terhebat sepanjang sejarah. Inilah cermin hidup generasi yang dididik langsung dan lulus dari madrasah Rasulullah. Dari generasi inilah lahir pemimpin cemerlang, pejuang gigih, penguasa adil yang berhasil mengalami lompatan peradaban yang belum pernah ada sebelumnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar